Sebagai
langkah preventif terhadap segala hal yang berkaitan dengan tindak pidana di
bidang komputer khususnya cyber, sedapat mungkin dikembalikan pada peraturan
perundang-undangan yang ada, yaitu KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dan
peraturan di luar KUHP. Pengintegrasian dalam peraturan yang sudah ada berarti
melakukan suatu penghematan dan mencegah timbulnya over criminalization,
tanpa mengubah asas-asas yang berlaku dan tidak menimbulkan akibat-akibat
sampingan yang dapat mengganggu perkembangan teknologi informasi.
Ada beberapa
hukum positif yang berlaku umum dan dapat dikenakan bagi para pelaku cyber
crime terutama untuk kasus-kasus yang menggunakan komputer sebagai sarana,
antara lain:
1. Kitab Undang Undang Hukum Pidana
Dalam upaya
menangani kasus-kasus yang terjadi para penyidik melakukan analogi atau
perumpamaan dan persamaaan terhadap Pasal-Pasal yang ada dalam KUHP.
Pasal-Pasal didalam KUHP biasanya digunakan lebih dari satu Pasal karena
melibatkan beberapa perbuatan sekaligus Pasal-Pasal yang dapat dikenakan dalam
KUHP pada cyber crime antara lain:
a.
Pasal 362 KUHP yang
dikenakan untuk kasus carding dimana pelaku mencuri nomor kartu kredit
milik orang lain walaupun tidak secara fisik karena hanya nomor kartunya saja
yang diambil dengan menggunakan software card generator di Internet untuk
melakukan transaksi di e-commerce. Setelah dilakukan transaksi dan
barang dikirimkan, kemudian penjual yang ingin mencairkan uangnya di
bank ternyata ditolak karena pemilik kartu bukanlah orang yang melakukan transaksi.
b.
Pasal 378 KUHP dapat
dikenakan untuk penipuan dengan seolah olah menawarkan dan menjual suatu produk
atau barang dengan memasang iklan di salah satu website sehingga orang
tertarik untuk membelinya lalu mengirimkan uang kepada pemasang iklan. Tetapi,
pada kenyataannya, barang tersebut tidak ada. Hal tersebut diketahui setelah
uang dikirimkan dan barang yang dipesankan tidak datang sehingga pembeli
tersebut menjadi tertipu.
c.
Pasal 335 KUHP dapat
dikenakan untuk kasus pengancaman dan pemerasan yang dilakukan melalui e-mail
yang dikirimkan oleh pelaku untuk memaksa korban melakukan sesuatu sesuai
dengan apa yang diinginkan oleh pelaku dan jika tidak dilaksanakan akan membawa
dampak yang membahayakan. Hal ini biasanya dilakukan karena pelaku biasanya
mengetahui rahasia korban.
d.
Pasal 311 KUHP dapat
dikenakan untuk kasus pencemaran nama baik dengan menggunakan media Internet.
Modusnya adalah pelaku menyebarkan e- mail kepada teman-teman korban
tentang suatu cerita yang tidak benar atau mengirimkan e- mail ke suatu mailing
list sehingga banyak orang mengetahui cerita tersebut.
e.
Pasal 303 KUHP dapat
dikenakan untuk menjerat permainan judi yang dilakukan secara online di Internet
dengan penyelenggara dari Indonesia.
f.
Pasal 282 KUHP dapat
dikenakan untuk penyebaran pornografi maupun website porno yang banyak
beredar dan mudah diakses di Internet. Walaupun berbahasa
Indonesia, sangat sulit
sekali untuk menindak pelakunya karena mereka melakukan
pendaftaran domain tersebut diluar negeri dimana pornografi yang menampilkan
orang dewasa bukan merupakan hal yang ilegal.
g.
Pasal 282 dan 311 KUHP
dapat dikenakan untuk kasus penyebaran foto atau film pribadi seseorang yang
vulgar di internet, misalnya kasus Sukma Ayu-Bjah.
h.
Pasal 378 dan 262 KUHP
dapat dikenakan pada kasus carding, karena pelaku melakukan penipuan
seolah-olah ingin membeli suatu barang dan membayar dengan kartu kreditnya yang
nomor kartu kreditnya merupakan curian.
i.
Pasal 406 KUHP dapat
dikenakan pada kasus deface atau hacking yang membuat sistem
milik orang lain, seperti website atau program menjadi tidak berfungsi
atau dapat digunakan sebagaimana mestinya.
2. Undang-Undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta.
Program komputer
adalah sekumpulan intruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema
ataupun bentuk lain yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca
dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan
fungsi-fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan
dalam merancang intruksi-intruksi tersebut.
Hak
cipta untuk program komputer berlaku selama 50 tahun. Harga program
komputer/ software yang sangat mahal bagi warga negara Indonesia
merupakan peluang yang cukup menjanjikan bagi para pelaku bisnis guna
menggandakan serta menjual software bajakan dengan harga yang sangat
murah. Misalnya, program anti virus seharga $ 50 dapat dibeli dengan harga Rp
20.000,00. Penjualan dengan harga sangat murah dibandingkan dengan software
asli tersebut menghasilkan keuntungan yang sangat besar bagi pelaku sebab modal
yang dikeluarkan tidak lebih dari Rp 5.000,00 perkeping. Maraknya pembajakan software
di Indonesia yang terkesan “dimaklumi” tentunya sangat merugikan pemilik
hak cipta. Tindakan pembajakan program komputer tersebut juga merupakan tindak
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 72 ayat (3) yaitu “Barang siapa dengan
sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu
program komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/
atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) “.
3. Undang-Undang No 36 Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi
Menurut
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No 36 Tahun 1999: “Telekomunikasi adalah setiap
pemancaran, pengiriman, dan/atau penerimaan dan setiap informasi dalam bentuk
tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat,
optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya”
Dari definisi tersebut, maka Internet
dan segala fasilitas yang dimilikinya merupakan salah satu bentuk alat
komunikasi karena dapat mengirimkan dan menerima setiap informasi dalam bentuk
gambar, suara maupun film dengan sistem elektromagnetik. Penyalahgunaan Internet
yang mengganggu ketertiban umum atau pribadi dapat dikenakan sanksi dengan
menggunakan Undang-Undang ini, terutama bagi para hacker yang masuk ke
sistem jaringan milik orang lain sebagaimana diatur pada Pasal 22, yaitu Setiap
orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi:
1.
Akses ke jaringan
telekomunikasi
2.
Akses ke jasa
telekomunikasi
3.
Akses ke jaringan
telekomunikasi khusus
Apabila
melakukan hal tersebut seperti yang pernah terjadi pada website
KPU, maka dapat
dikenakan Pasal 50 yang berbunyi “Barang siapa yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan pidana penjara paling lama
6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah)”
4.
Undang-Undang No 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang
No. 8 Tahun 1997 tanggal 24 Maret 1997 tentang Dokumen Perusahaan, pemerintah
berusaha untuk mengatur pengakuan atas mikrofilm dan media lainnya (alat
penyimpan informasi yang bukan kertas dan mempunyai tingkat pengamanan yang
dapat menjamin keaslian dokumen yang dialihkan atau ditransformasikan, misalnya
Compact Disk - Read Only Memory (CD - ROM), dan Write - Once -
Read - Many (WORM), yang diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang
tersebut sebagai alat bukti yang sah.
5.
Undang-Undang No 25
Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang
Pencucian uang adalah suatu proses
atau perbuatan yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul
uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana yang kemudian
diubah menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah.
Sesuai dengan Pasal 2 Undang-undang No.15 Tahun 2002, tindak pidana yang
menjadi pemicu terjadinya pencucian uang meliputi korupsi, penyuapan,
penyelundupan barang/tenaga kerja/imigran, perbankan, narkotika, psikotropika,
perdagangan budak/wanita/anak/ senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian,
penggelapan, dan penipuan. Kegiatan pencucian uang mempunyai dampak yang serius
terhadap stabilitas sistem keuangan maupun perekonomian secara keseluruhan.
Tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana multi-dimensi dan bersifat
transnasional yang seringkali melibatkan jumlah uang yang cukup besar.
Undang-Undang ini juga mengatur
mengenai alat bukti elektronik atau digital evidence sesuai dengan Pasal
38 huruf b yaitu alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan,
dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau
yang serupa dengan itu.
6.
Undang-Undang No 15
Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Selain Undang-Undang No.
25 Tahun 2003, Undang-Undang ini mengatur mengenai alat bukti elektronik sesuai
dengan Pasal 27 huruf b yaitu alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan,
dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau
yang serupa dengan itu. Digital evidence atau alat bukti elektronik
sangatlah berperan dalam penyelidikan kasus terorisme, karena saat ini
komunikasi antara para pelaku di lapangan dengan pimpinan atau aktor
intelektualnya dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas di Internet untuk
menerima perintah atau menyampaikan kondisi di lapangan karena para pelaku
mengetahui pelacakan terhadap Internet lebih sulit dibandingkan
pelacakan melalui handphone. Fasilitas yang sering digunakan adalah e-mail
dan chat room selain mencari informasi dengan menggunakan search
engine serta melakukan propaganda melalui bulletin board atau mailing
list.
7.
Undang-Undang No. 11
tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
ITE dipersepsikan sebagai cyberlaw di Indonesia,
yang diharapkan bisa mengatur segala urusan dunia Internet (siber), termasuk
didalamnya memberi punishment terhadap pelaku cybercrime. Cybercrime dideteksi
dari dua sudut pandang:
- Kejahatan yang Menggunakan Teknologi Informasi Sebagai Fasilitas: Pembajakan, Pornografi, Pemalsuan/Pencurian Kartu Kredit, Penipuan Lewat Email (Fraud), Email Spam, Perjudian Online, Pencurian Account Internet, Terorisme, Isu Sara, Situs Yang Menyesatkan, dsb.
- Kejahatan yang Menjadikan Sistem Teknologi Informasi Sebagai Sasaran: Pencurian Data Pribadi, Pembuatan/Penyebaran Virus Komputer, Pembobolan/PembajakanSitus, Cyberwar, Denial of Service (DOS), Kejahatan Berhubungan Dengan Nama Domain, dsb.
Cybercrime
menjadi isu yang menarik dan kadang menyulitkan karena:
a.
Kegiatan dunia cyber
tidak dibatasi oleh teritorial negara
b.
Kegiatan dunia cyber
relatif tidak berwujud
c.
Sulitnya pembuktian
karena data elektronik relatif mudah untuk diubah, disadap, dipalsukan dan
dikirimkan ke seluruh belahan dunia dalam hitungan detik
d.
Pelanggaran hak cipta
dimungkinkan secara teknologi
e. Sudah
tidak memungkinkan lagi menggunakan hukum konvensional. Analogi masalahnya
adalah mirip dengan kekagetan hukum konvensional dan aparat ketika awal mula
terjadi pencurian listrik. Barang buktiyang dicuripun tidak memungkinkan
dibawah ke ruang sidang. Demikian dengan apabila ada kejahatan dunia maya,
pencurian bandwidth, dsb
Secara umum,
dapat disimpulkan bahwa UU ITE boleh disebut sebuah cyberlaw karena muatan dan
cakupannya luas membahas pengaturan di dunia maya, meskipun di beberapa sisi
ada yang belum terlalu lugas dan juga ada yang sedikit terlewat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar